Akhirnya setelah lama tidak menulis konten SEO, saya menulis lagi hari ini. Otak udah kaku, kebanyakan melakukan pengeditan, penilaian, analisa, tanpa melatih membuat train of thoughts, seperti yang dilakukan semua writer saat menulis. Tapi hari ini dan seterusnya, saya berharap bisa terus menemani kamu belajar digital marketing. Entah di bootcamp, di forum online, atau melalui tulisan-tulisan yang tersebar di internet.
Selamat membaca!
6 Hal yang Harus Dipahami Pembelajar Digital Marketing
Percayalah, belajar digital marketing itu gampang. Yah, mungkin tidak segampang membalikkan telapak tangan, karena pada dasarnya digital marketer itu strategist, analyst, dan otomatis thinker.
Tapi, saya berani bilang siapapun bisa mempelajarinya. Bahkan Ibu saya yang hanya lulusan SD cukup paham dengan konsep digital marketing saat saya jelaskan. Jadi, saya berani jamin siapapun kamu, pasti bisa belajar digital marketing.
Namun sebelum 100% terjun ke bidang ini, ada beberapa mindset dan principles yang kamu pahami. Tenang, saya berjanji tidak akan bawa-bawa teori yang tidak praktikal, seperti definisi atau pendapat pengamat (dosen marketing yang menjelaskan digital marketing tapi nggak pernah menerapkannya, termasuk di sini).
Sebelum belajar digital marketing, setidaknya kamu harus paham hal-hal berikut. Nanti akan saya tambah kalo ada poin yang kurang:
1. Digital, Tradisional, dan Beda Keduanya
Seingatmu, kapan terakhir kali kamu menonton TV? Baca koran kertas? Menerima telpon dari agen penawar kredit?
Saya yakin, sebagian dari kita sudah lupa kapan terakhir melakukan hal-hal itu.
Buat apa nonton TV kalau bisa cari hiburan sesuka hati di Youtube? Buat apa beli koran kertas kalau berita bisa diakses di mana saja?
Dan telpon agen kredit? Saya yakin begitu mendapat ucapan salam saja, kamu akan langsung menutup telpon, dan menandai nomornya sebagai spam di GetContact.
Nah, ketiga strategi marketing yang saya sebutkan tadi adalah marketing tradisional (traditional marketing). Banyak effort yang dilakukan, banyak resource yang dipakai, banyak budget, dengan hasil tidak terukur jelas.
Beda halnya kalau kita posting foto produk di Instagram. Kalau ditanyain, berapa banyak orang yang udah melihat foto itu? Tinggal cek aja menu Insight, lalu lihat impression kontennya berapa. Kontennya udah cukup bagus belom? Cek berapa banyak like yang diterima, lalu dibandingkan sama impression. Selesai.
Sama halnya kalo kita keluar budget buat ngiklan. Hampir semua media online yang menerima iklan punya dashboard pelaporan otomatis (kecuali Twitter sama Tiktok, yang perlu banyak perbaikan). Kita nggak perlu susah-susah berhitung, karena hasilnya tertera.
Soal efektivitas? Mana yang lebih baik, traditional atau digital marketing?
Jawaban aslinya: undefined. Nggak bisa dibuktikan.
Soalnya, marketing tradisional pakenya metriks kualitatif dan perkiraan, beda dengan digital marketing yang bisa mengeluarkan metriks semacam ini:
Digital marketing itu butuh banyak effort, resource, dan budget. Sama seperti tradisional. Tapi at least, kamu bisa tahu apa effort, resource, dan budget yang kamu korbankan berhasil atau nggak, dan berapa persentase akurat keberhasilannya.
2. Apa Saja Channel yang Bisa (dan Worth It) Dipakai
Hal kedua yang harus kamu pahami sebelum belajar digital marketing adalah mana saja channel yang bisa kamu manfaatkan, dan mana yang tidak.
Tambahan untuk poin kesatu, sebenarnya nggak semua bisnis bisa didigitalisasi 100%. Contohnya bisnis B2B, yang masih sering perlu ketemu, presentasi, dan negosiasi sama klien.
Hal-hal seperti nggak bisa didigitalisasi sepenuhnya, walau jelas bisa dipermudah dengan digitalisasi (misal presentasi bisa pakai Meet atau Zoom alih-alih ketemu face-to-face).
Sebelum benar-benar jadi digital marketer, kamu harus bisa menganalisa channel-channel marketing apa saja yang worth it dipakai, dan mana yang perlu ditaruh di prioritas lebih rendah.
Dari riset yang dilakukan Hubspot di State of Inbound Marketing 2022, bisnis B2C cenderung lebih efektif kalau pake channel kaya influencer marketing, podcast, brand partnership, dan konten-konten berdurasi pendek (seperti Reels dan Tiktok).
Sementara itu, B2B justru lebih efektif kalau pake channel SEO, studi kasus, email marketing, dan interview ahli terus kontennya diunggah ke internet.
Simpulannya: belajar digital marketing di semua aspek emang bagus, dianjurkan untuk jangka panjang. Tapi untuk jangka pendek, dalami dulu yang kamu butuhkan. Kalau bisnis yang kamu pegang nggak butuh email marketing, mending pelajari skill yang lebih penting dulu.
3. Memperjuangkan Konsumen, Bukan Produk
Mau secerdas dan sejenius apapun strategi marketing, kalau nggak dipahami target konsumen ya nggak ada gunanya. Pahami ini. Camkan.
Jangan sampai seperti saya dulu pas masih newbie banget di digital marketing. Bikin konten high effort yang saya kira bakal dapat engagement luar biasa. Eh ternyata malah kalah sama konten-konten ala meme receh. Sad nggak tuh?
Faktanya sekarang masih begitu. Banyak konten FYP di Tiktok yang dibuat seadanya, tapi viral bukan main.
Intinya, kalau target konsumen pakai bahasa elu – gue, usahakan pakai gaya yang sama. Kalau mereka suka jokes receh ala bapak-bapak Facebook, gaskeun. Jangan mentang-mentang gen Z terus nggak mau relate sama target konsumen yang X dan Y. Bukan begitu cara kerja digital marketer.
4. Angka, Angka, dan Angka
Sebelum belajar digital marketing, kamu harus tahu dulu kalau nantinya hidupmu akan dipenuhi angka, angka, dan angka.
Digital marketer yang benar kalau ditanya business owner atau atasan, “Bulan ini gimana campaign marketingnya?” nggak akan menjawab: “Udah bagus kok, Pak.”.
Lebih dari itu, provide data. Tunjukkan kenapa kamu bilang campaign marketing itu udah bagus, apa indikator sebuah campaign disebut “bagus”? CTR tinggi? Dapat banyak leads? Sesuaikan awal tujuan campaign itu direncanakan.
Dan…jangan coba-coba manipulasi data. Kalau kamu bilang campaign hasilnya bagus tapi ternyata nggak, semua orang bisa tahu kalau itu kebohongan.
Karena dashboard pelaporan digital marketing selalu bisa diakses siapa saja. Dan seperti halnya robot lain, dashboard digital marketing nggak bisa kamu ajak kongkalikong.
5. Tracking, Tracking, dan Tracking
Saya hampir kehilangan train of thoughts di poin kelima ini. Jadi maaf kalau misalnya ada bahasan yang kurang setelah ini ya. Lain kali akan saya tambahkan.
Selain angka, sebagai calon digital marketer kamu juga harus punya skill tracking – ya, melacak jejak.
Dengan tracking yang benar, kamu bisa mendapat informasi tentang sumber data dengan lebih akurat. Bahkan, kamu juga bisa mendapat truth beyond the truth dengan alat tracking yang digunakan dengan tepat.
Contohnya Hotjar. Alat yang bisa digunakan tracking perilaku pengunjung website. Dengan Hotjar, kita dapat mengetahui sampai mana visitor load website, mana button-button paling sering diklik, berapa persen visitor yang pernah klik CTA, dan masih banyak lagi.
Selain Hotjar, masih banyak tracking tools lain yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya:
- UTM Builder
- Google Tag Manager
- Contentsquare
- Smartlook
- dan masih banyak lagi.
Pemahaman tentang tracking tools akan memberimu lebih banyak insights saat harus membuat solusi. Contohnya saat website kamu susah generate leads. Pandanganmu akan beda kalau kamu pakai Hotjar/GTM sebagai pelengkap data Google Analytics.
6. Kamu Bukan Aladdin, Tapi Bisa Diusahakan
Hal terakhir yang harus kamu pahami sebelum belajar digital marketing adalah kamu bukan Aladdin, atau jin-nya Aladdin.
Dengan strategi yang terbukti berhasil, digital marketing akan mempercepat brand awareness, proses transaksi, dan bahkan purchase. Akan tetapi, membuktikan keberhasilan suatu strategi perlu banyak proses, A/B testing, trial and error yang tak ada habisnya di awal.
Selama proses itu dilakukan, ada kemungkinan budget digelontorkan tanpa menghasilkan apapun. Inilah risikonya.
Di digital marketing, risiko bisa dikendalikan dan dimitigasi via dashboard pelaporan channel yang dipakai. Beda dengan traditional marketing yang proses pengambilan keputusannya main spekulasi.
Sebenarnya kalau soal membuat “keajaiban” kaya Aladdin, Tiktok adalah platform-nya. Kita bisa bertahan dengan 300 followers selama 6 bulan dan mendapat 1 juta followers di bulan ke-7, hanya dengan konten FYP.
Selain Tiktok, ada juga SEO yang menjanjikan traffic selamanya dengan investasi 1 kali, asal kontennya evergreen dan pemilihan niche pas.
Namun demikian, semua keajaiban itu tetap diusahakan. Riset konten yang berpotensi viral, pencarian keyword yang tepat, dan effort habis-habisan membuat konten berkualitas adalah segelintir usaha yang perlu dilakukan.
Demikian 6 mindset dan principles yang harus kamu pahami sebelum belajar digital marketing. Saya yakin kalau dijabarkan lagi, poin-poinnya lebih dari enam sih, tapi berapapun itu, semoga kamu memahaminya ya!
Welcome to digital marketing! Dunia ini sangat seru, karena bisa dimasuki siapa saja yang tertantang memecahkan masalah marketing dengan data dan teknologi.
Jika ada saran, feedback, atau sesuatu yang ingin didiskusikan, silakan drop komentar di bawah ini ya! Saya juga tidak menolak kritik, karena seperti semua digital marketer lain, saya masih belajar – dan akan terus belajar, God’s will.